Sabtu, 15 Desember 2012

Raksasa dari Jogja

Diposting oleh Eka Suzanna di 23.36
Raksasa dari JogjaRaksasa dari Jogja by Dwitasari

My rating: 1 of 5 stars


Hm...


Senyum...

Lalu.. *sigh*


Kalau ada setengah bintang, mungkin aku akan kasih setengah.

Aku sarankan, membaca buku ini sebaiknya sehabis mandi (pagi atau sore) dalam keadaan duduk tegap, ditemani camilan dan teh mungkin lebih mantap.

Jangan seperti aku yg baca novel ini sehabis sholat shubuh dan duduk di atas tempat tidur, karena.... bantal dan kasur saat itu akan jadi terasa lebih menarik daripada buku ini. Itu yg kurasakan bahkan sejak halaman-halaman awal.

Jangan baca sambil berbaring. Jangan! Ntar bisa terlelap bahkan sebelum habis satu bab :|

Aku baca buku ini beberapa halaman saja nguap beberapa kali... dan nggak sanggup rasanya nyelesain buku ini, bahkan walau sekedar satu bab. Tapi aku paksakan diri sepaksa-paksanya, coba nguatin diri membaca.

Padahal kemarin pas ke Gramed, novel ini adalah novel yg palinggg pertama aku ambil dan masukkin ke tas, karena memang sudah sejak dari rumah diplanning,buku ini salah satu yg kuincar.

Kenapa?

Aku sudah lama banget penasaran sama buku ini. Di twitter ramai banget orang ngebicarain. Coba aja search Raksasa dari Jogja, wah.. pujian demi pujian terlontar. Terlebih novel ini masuk dalam jejeran best seller! Bagaimana aku nggak penasaran, coba?

Kebetulan aku tahu twitternya si penulis walau aku bukan followernya. Yah.. tweet tweetnya dia memang bagus-bagus, mewakilin isi hati para penggalau :p. Aku juga sempat ngunjungin blognya, dan kata-kata yg dia rangkai memang oke-oke.

Dan melihat dari pujian-pujian orang di twitter tentang buku ini, nggak salah dong kalau aku punya ekspektasi yg sangat tinggi?

Sebenarnya aku sudah menekan ekspektasi itu, takut kecewa. Tapi nggak bisa, aku dah terlanjur punya 'bayangan tinggi' pada buku ini.

Dan... yah.. dari halaman satu juga aku udah eneg bacanya.

Dibanding my GirlFriend is a Gumiho rasanya ini lebih parah, deh.

Aku tahu Dwita pandai merangkai kata, dan aku suka tweetnya. Tapi tulisan di buku ini yg terlalu baku, dan terlalu banyak narasi, justru malah bikin aku ingin sekali nutup buku ini.

Entah ya... apa memang seleraku yang aneh?

Secara banyak yg muji-muji dan nyembah-nyembah *lebay* buku ini di twitter, tapi kok aku nggak ngerasain seperti apa yg mereka katakan ya?

Saat Bab 1, aku sempat berhenti sejenak dan iseng liat ratingnya di goodreads ini. Kali saja penilaian di GR beda dengan penilaian di Twiiter.

Dan.. benar saja!!

Di GR kayaknya banyak yg ngasih 1 bintang.

Aku langsung mikir, ini yg mana bisa dipercaya? Yg di twitter apa di GR?

Aku mutusin tuk ngelanjutin baca...dan aku berputusan tuk gabung golongan GR. *nyengir kering*

Jujur aja yee, aku nggak bisa suka sama buku ini. ^^;

Aku nggak mandang Dwita itu selebtwit dengan ratusan ribu follower, dan juga pujian-pujian followernya. Kalau aku ngerasa buku ini bikin 'eneg' aku bakal tetep kasih setengah bintang.

Kemampuan dan kepiawaian Dwita dalam merangkai kata, sepertinya jadi pisau bermata dua di sini. Dwita salah sih menurutku kalau dia terlalu banyak menggunakan narasi yg begitu panjang dan terlalu 'nyastra' 'berlebihan' atau apalah namanya (aku nggak tahu).

Untuk tweet dan postingan pendek di blog, oke boleh lah. Tapi untuk novel?

Duuhh...

Itu hanya akan membuat yg baca jadi ngerasa ngantuk dan bosan (untuk pembaca seperti aku sih, entah untuk yang lain).

Dan ceritanya yg sebenarnya sepele, jadi bertele-tele dan lambat banget kesannya.

Konfliknya cuma begitu doang, yg bikin panjang cuma penyampaian dan alurnya yg super lambat dan bertele-tele. ITU.

Kutipan halaman 1:

Bianca menarik napas lega. Selesai. Tak ada lagi rumus-rumus fisika dan matematika. Tatapannya mengarah pada koleksi buku-buku fiksi yang tertata rapi di dekat meja belajar. Matanya menjamah setiap buku yang terletak di sana. Detail judul diperhatikannya dengan saksama. Tinggi rak buku itu melebihi tinggi Bianca, hampir dua meter. Ia berjinjit, jemarinya bersemangat meraih buku bersampul hitam, Biola Tak Berdawai, Seno Gumira Ajidarma.

----
Di sini saja, aku sudah mengernyitkan kening. Penyampaiannya jelas, jelas banget. Tapi entah kenapa aku malah jadi kesulitan berimajinasi (ketimbang ambil buku doang padahal) -,-.

Ini sih lebih parah dari Esti Kinasih dan buku terjemahan..

Aku pun ngerasa aneh dengan dialog-dialog yg diucapkan tokohnya. Terlalu gimanaaaaa gitu *sulit mendeskripsikan*

Dwita, anak Sastra di UI, aku percaya. Terlihat kok dari tiap kalimat yg dia tulis. Begitu rapi, baku, dan puitis.

TAPI, kalau keseluruhannya menggunakan kalimat begituan, bahkan juga saat dalam bentuk dialog, rrrr... jatuhnya jadi aneh dan nggak enak dibaca.. :| Bukan terkesan indah dan puitis lagi.

Coba, kalau saja Dwita nulisnya biasa saja nggak usah terlalu over lah hingga dari A-Z mesti menggunakan kalimat yg begitu baku. Cukup sesekali saja nyempilin quotes-quotes keren (seperti bagaimana tweetnya ) mungkin akan lebih berkesan.

Belum lagi dengan penokohannya yg aneh beserta typo-typo yg cukup mengganggu dimana-mana, membuat buku ini semakin bikin eneg :|

Oh God...

Aku nggak tahu kenapa aku begitu kecewa.

Mungkin karena sebelumnya aku sudah termakan pujian-pujian buku ini di twitter, juga kemantapan penulisnya yg begitu percaya diri terus-terusan mempromosikan buku ini seakan ini novel remaja terkeren abad ini.

Bahkan followerku sendiri ada beberapa yang mendesak dan menyarankanku tuk baca novel ini. Katanya menyentuh ceritanya, bagus.

Tapi setelah kubaca ..... *sigh lagi*

Yang bikin wow dan salut, novel ini kalau nggak salah terbitnya bulan Oktober kan. Dan sekarang sudah masuk cetakan ketiga (yang aku beli) dan masih masuk jejeran best seller pula.



View all my reviews

0 komentar:

Posting Komentar

 

Book Lover Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review